Jumat, 29 Oktober 2021

Catatan Terakhir: Aku Pulang (Sajak-sajak Yudi Yudianto)

Catatan Terakhir: Aku Pulang

(Episode Kasidah Cinta I)


mendendangkan lagu pulang, pada senja

yang aku tak mau menghitung lukanya

kabut terlalu cepat turun

menyusuri malam, merenggut purnama

memaksakan bingkai cerita lain, padahal

masih ingin lebih lama

menulisi prasasti dan kasidah cinta, lalu

menghunjamkan dalam pada harum tanah

    di sini. Tapi

kepak lambai tangan mengusung keranda

    pulang

terlalu kuat merenggut lembayung. Haruskah

tetes hujan tak berhenti mengalir

membasahi kepak lambai pulangku, agar

    lembayung

tak lepas dari senja, haruskah

kupeluk dan tak kulepas lagi

sajadah panjang yang masih

    mendendangkan

suara anak-anakku mengaji

hingga esok aku masih memeluk fajar di sini

Namun gerhana terlalu cepat memasung

    purnama

kerongkongan terlalu tajam menyekat do'a-

    do'aku

membiarkan kesempurnaan gelap malam 

menghampiri pelan-pelan

menjiarahi desir angin pada jemari hujan

mencatat setiap butir air mata di keheningan 

    tahajud

dan merengkuh sajadah wadah anak-anakku

    mengaji,

tapi aku tetap harus melangkah

        membawa bayang-bayang kita masing-

    masing

mengayuh biduk pada telaga kita masing-

    masing

dipayungi rembulan kita masing-masing


Bandung, Januari 1995

Dimuat di majalah Ummi, no 10-VII tahun 1995, rubrik Taman Puisi, hal. 65



Sabtu, 23 Oktober 2021

Catatan di Suatu Malam Syawal 1415H

Sore ini aku buka puasa di Pasar Pandegiling. Tidak ada yang luar biasa sebenarnya, kecuali kepatuhan pada aturan-aturan agama yang harus digenapi. Tapi bila dikatakan sederhanapun tidak juga., sebab seperti tahun-tahun yang lalu, ada saja pengalaman unik yang gemanya masih membekas di hati. Seperti tahun-tahun yang lalu, nyatanya pengalaman-pengalaman itu memberikan pemikiran baru, yang membuat pikiranku jadi penuh dengan ide-ide (seandainya saja hal itu bisa dikatakan sebagai ide) yang ingin segera kukeluarkan dalam bentuk tulisan.

Dengan tenang kusantap nasi pecel yang kupesan. Sesekali kunikmati juga rasa hangat dan manis dari segelas teh yang ada di depanku. Memang benar kata para kyai yang sering mengisi rubrik-rubrik agama di koran-koran, bahwa kenikmatan orang yang berbuka puasa adalah di saat pertama kali air membasahi tenggorokan kita. Suatu rasa yang bisa membuat kita seperti ketagihan, selalu ingin minum dan minum lagi.


Saat enak-enaknya menikmati nasi pecel itu, kurasakan kehadiran seseorang di sebelah kiriku. Waktu kupandang ke arah tersebut, kutemukan seraut wajah anak laki-laki berumur sekitar 6 tahun, berpakaian lumayan bersih, yang menyembunyikan wajahnya dengan malu-malu. Anak laki-laki itu membawa sebuah mangkuk plastikwarna biru yang terkadang digosok-gosok bagian dalamnya sambil berkata perlahan, "Om, mohon belas kasihannya." 

Sepertinya ia tidak berkata padaku, tapi dari sikapnya aku tahu bahwa akulah yang diajak bicara.

Kupandangi wajah itu dengan lugu, dan hampir bersamaan dengan itu aku teringat pada beberapa baris sajak karangan Sa'di Syirazi dalam Bustan:


Bila anak yatim menangis, siapa menghalau dukacitanya?

Bila perasaannya tak terkendali, siapa perduli pada berangnya?

O! Jagalah, jangan dia menangis, sebab pastilah singgasana Tuhan

akan terguncang, karena rintih anak yatim yang pilu!

Dengan belas kasihan tiada batas, 

dengan kasih sayang yang lembut,

sekalah air matanya, kibaskan debu dari rambutnya.


Aku belum bisa mengerjakan seperti yang dianjurkan oleh Sa'di dalam baris-baris sajaknya di atas.

Terus terang aku malu mengakui hal ini. Yang bisa kurasakan saat itu adalah keinginan untuk mengelus kepalanya seraya mengeluarkan kata-kata yang dapat menghiburnya. Tapi itupun akhirnya tidak kulakukan. Yang terjadi adalah, aku mengambil uang, dan tanpa berkata apa-apa kutaruh uang itu di dalam mangkuknya. Aku tidak mampu memandang wajahnya lagi. Anak itu dengan cepat mengambil uang tersebut, kemudian berlalu setelah mengucapkan 'terima kasih' dengan perlahan.

Setelah anak itu berlalu, pikiranku melayang pada cerita-cerita tentang para Khulafaur Rasyidin serta Abu Zarr al-Giffari. Mereka begitu memperhatikan nasib para dhuafa. Mereka mau menyamakan keadaan dirinya yang sederhana dengan keadaan rakyatnya yang lemah, sehingga orang miskinpun tidak tersengat oleh kepedihan kemiskinannya.

Aku juga teringat pada seorang pengusaha toko buku di kawasan Tugu Pahlawan Surabaya yang secara rutin mengumpulkan orang-orang miskin pada hari Senin dan Kamis, lalu tanpa banyak gembar-gembor ia memberi nasi bungkus dan uang sekedarnya pada orang-orang miskin itu.

Begitu indah perhatian dan belas kasih yang mereka tunjukkan pada orang miskin, seindah saat-saat puasa di bulan Ramadhan yang baru berlalu. Mungkin inilah makna puasa Ramadhan: berpuasa menahan lapar dan haus, merasakan akibat pengekangan nafsu-nafsu kita, yang pada akhirnya melahirkan kepedulian pada orang miskin dalam bentuk amal dan zakat fitrah. Suatu perasaan yang indah, fitri, bening, tintrim dan segar yang mungkin hanya bisa kita rasakan pada bulan Ramadhan saja.

Yah, itulah sayangnya: welas-asih dan kepedulian itu hanya bisa kita rasakan pada bulan Ramadhan saja, tidak pada bulan-bulan lainnya. Mengapa? Karena dalam pikiran kita seolah-olah telah terpatri bahwa bulan Ramadhan adalah bulan terbaik untuk berbuat baik. 

Kita sering lupa bahwa bulan selanjutnya (bulan Syawal) merupakan bulan peningkatan dari puasa yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan. Kalau kesimpulanku tentang makna puasa di atas benar, maka kefitrian dan kesegaran bulan Ramadhan tentunya bisa kita rasakan juga di bulan-bulan lainnya dengan cara menjadi salah seorang penyantun kaum dhuafa seperti orang-orang yang telah kusebutkan tadi. Seandainya lebih dari tiga perempat dari seluruh kaum muslimin menjadi welas-asih kepada kaum dhuafa, ya Allah, alangkah indahnya hari-hari dunia.

Dengan harapan seperti itu, kulanjutkan makan nasi pecelku yang masih tersisa. Sambil makan kupandangi toko-toko pakaian di belakang warung-warung di sepanjang jalan Pandegiling. Seandainya pemilik-pemilik toko itu mau berbuat seperti pengusaha toko buku di kawasan Tugu Pahlawan....

Tiba-tiba seorang anak perempuan kecil masuk ke warung yang bersebelahan dengan warung tempat aku makan. Setelah melihat ke kanan dan kiri, memperhatikan bahwa pemilik warung tidak melihat perbuatannya, lalu dengan cepat dia mengambil sekerat daging sisa di piring-bekas-makan seorang pembeli yang baru pergi, dan langsung dimasukkan ke mulutnya yang mungil.... dimakan!

Begitu cepat kejadian itu berlangsung, sehingga aku hanya bisa ternganga saja.

Apalagi setelah aku sadar bahwa anak itu telah berada di belakangku, menepuk punggungku, kemudian dengan berani dia menatap mataku seraya menadahkan tangan!

Wahai.... Dalam hitungan beberapa menit aku telah dilibatkan pada dua kejadian ganjil. Yang pertama, pertemuan dengan seorang anak laki-laki yang polos, lugu, pemalu dan menimbulkan belas kasihan. Lalu yang kedua, dengan seorang anak perempuan kecil, lebih muda (berumur 3 sampai 4 tahun), berpakaian agak lusuh, berani dan agresif.

 Sikapku terhadap anak perempuan ini pun berubah, berlawanan dari sikapku pada anak laki-laki tadi. Sikapku jadi kaku, waspada, bahkan cenderung sinis. Apakah mengemis sudah menjadi profesi yang menguntungkan sehingga mampu mengubah anak sekecil ini menjadi anak yang agresif, ataukah karena tekanan keadaan saja?

Kalau mengemis memang telah menjadi profesi, aku tidak bisa lagi membayangkan bagaimana sebenarnya etika sosial masyarakat kita. Mungkin yang terjadi mirip dengan keadaan yang digambarkan pada buku Quo Vadis karangan Henryk Sienkiewicz yang bercerita tentang zaman kekaisaran Romawi di bawah pemerintahan Nero, dimana para pengemisnya setiap hari bergerombol di Forum, bermalas-malasan sambil menunggu pembagian roti secara gratis dari Kaisar. Mereka memuji-muji Kaisar dan makin memuji agar jatah roti dan gandum mereka bertambah banyak.

Itulah etika moral yang berlaku saat itu, siapa yang mampu memberi makanan yang paling banyak, dialah yang menjadi penguasa. Siapa yang yang mampu memuaskan kebutuhan perut mereka, dialah yang disembah. Jadi kekuasaan di sini ditentukan oleh pemuasan syahwat dan kebutuhan jasmani saja.

Hal ini jauh berbeda dengan saat Umar bin Khattab menjadi pemimpin umat Islam. Sering kita mendengar cerita adanya seseorang yang berlama-lama zikir di masjid. Oleh Umar ia dibentak: "Kau tidak akan mendapatkan rezeki dengan hanya berzikir. Bekerjalah."

Dalam hal anak perempuan tadi, yang kulakukan padanya hanya menggelengkan kepala, menolak permintaannya sambil berkata: "Aku tidak akan memberimu uang, kecuali kamu...." Tapi anak itu malah terus berlari pergi, tidak mengacukan omonganku lagi.

Saat aku pulang, di tengah perjalanan kurenungkan kembali kejadian-kejadian tadi. aku merasa sedikit banyak bisa mengambil hikmah darinya. Aku dapat mempertajam rasa pekaku terhadap kaum dhuafa, aku dapat mempertajam otakku untuk memikirkan hal-hal yang punya manfaat bagi sesama.

Sebab pembaca, biar pun pada karangan di atas banyak kusinggung tokoh-tokoh Islam, tapi pada dasarnya yang kupakai untuk menilai kejadian-kejadian itu adalah hati nuraniku sendiri. Aku merasa belum pantas menilai kejadian-kejadian itu berdasarkan nilai-nilai agama yang kuanut, meskipun nilai-nilai agama itu sedikit banyak juga ikut mewarnai penilaianku. Banyak orang-orang yang lebih cocok untuk melakukannya. Itulah mengapa aku hanya menilainya berdasarkan nilai-nilai yang dapat dipahamioleh orang banyak, oleh masyarakat luas.

Jadi menurutku, pada akhirnya kemiskinan itu bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi kemiskinan menimbulkan keprihatinan yang menyedot perhatian kita kita agar mau mengulurkan tangan membantu mengurangi penderitaan kaum dhuafa, di sisi lain ia merupakan sisi negatif bila kita manjakan tanpa ada upaya untuk mengubah, minimal memperbaikinya menjadi kehidupan yang lebih baik.


Dimuat di majalah Ummi, no 10-VII tahun 1995, rubrik Ragam, hal. 38-40



Sabtu, 25 Mei 2019

Jafar, Penyihir Jahat dalam Film Disney's Aladdin


Karakter Jafar dalam film Disney's Aladdin tahun 2019 yang diperankan oleh aktor Marwan Kenzari

Pengantar
Saat pertama kali menonton film animasi Disney; Aladin tampil di tahun 1992, kami terpesona pada kecanggihan animasinya yang halus dan musik pengiringnya yang indah. Namun beberapa bulan terakhir, sejak membaca tulisan Kiona N. Smith, seorang kontributor artikel sejarah sains, eksplorasi dan tehnologi  pada majalah Forbes, tentang karakter Jafar pada film Aladdin terbaru yang perdana tayang pada 24 Mei 2019 ini, saya jadi bertanya-tanya; sedemikian besarkah manipulasi yang dilakukan Disney pada karakter-karakter cerita 1001 Malam, khususnya cerita 'Aladin dan Lampu Ajaib"nya (Jafar, Aladin dan Sultan Harun Al-Rasyid), sehingga saat kita menonton filmnya, seolah kita disuguhi olah akting karakter-karakter yang berbeda dari yang sebenarnya menurut sejarah. Sepanjang yang saya tahu, penggambaran Muslim dalam propaganda media Barat selalu dilukiskan sebagai penjahat, penyihir dan memiliki kebiasaan merayu wanita.
Cerita Aladin versi Barat (Disney) pun, setali tiga uang; Aladin sang protagonis, tokoh utama yang baik, tampan, ramah, polos, lugu tanpa dosa, energik, suka bermain dan mencuri di pasar dengan keranya, Abu. (Setahu saya, agama-agama samawi mengajarkan; mencuri bukanlah perbuatan baik. Namun anehnya, kesukaan Aladin untuk mencuri, diterima para penonton tanpa protes, justru dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar.) Aladin digambarkan sebagai anak jalanan menyenangkan yang ingin meninggalkan hidupnya sebagai pencuri, dan percaya bahwa ia diharapkan untuk mengerjakan hal-hal yang lebih besar. Keberuntungannya dimulai ketika ia diperintah seseorang (Jafar) mengambil sebuah lampu, yang ternyata lampu ajaib tempat bersemayam Genie, di sebuah gua harta. Lampu ajaib tersebut diberikan kepada Jafar, meski dicuri lagi oleh Abu dan akhirnya digunakan Aladin untuk kepentingan sendiri. Dengan kekuatan sihir Genie, sim salabim!; berubahlah Aladin menjadi seorang pangeran tampan. Ia masuk ke kota Agrabah sebagai "Pangeran Ali Ababwa" yang kaya raya dengan megah dan mewah. Ia dielu-elukan bak seorang raja.
Harun Al-Rasyid adalah Sultan tua pendek berjanggut putih dengan perut menggelembung kekenyangan, lucu, bijaksana namun overprotective (sangat ketat melindungi) sang anak, Jasmine. Beliau tak terlalu memikirkan kerajaan karena sudah diurus oleh Grand Vizier, Menteri Utama, Penasehat Utamanya. Jafar si antagonis adalah Penasehat Utama Sultan Harun Al-Rasyid yang juga seorang Penyihir jahat, yang berniat merebut kekuasaan Sultan, menjadi Penyihir Paling Sakti dan merebut Jasmine, putri Sultan, untuk dijadikan istrinya.
Karakter-karakter menarik, dengan gambar-gambar dan musik pengiring yang indah, film ini sanggup mengaduk-aduk emosi penonton (terutama anak-anak), membuai dan membuat mereka menerima karakter-karakter tersebut sebagai sesuatu yang "memang seperti itulah kenyataannya".
Padahal berdasarkan catatan sejarah, terutama tentang Jafar, faktanya tidak seperti itu.

Ja'far ibn Yahya
Ja'far ibn Yahya, wazir untuk khalifah Harun Al-Rasyid, adalah salah seorang terkuat dalam kekhalifahan Abbasiyah, kekaisaran yang memerintah daerah luas Asia Tengah dan Afrika Utara dari tahun 750 hingga 1258 M, yang menggunakan pengaruhnya untuk mempromosikan ilmu pengetahuan di dunia Arab, dimana ia berkontribusi pada pengembangan ilmu pengobatan (medis), astronomi, dan tehnik dalam masyarakat Islam Abad Pertengahan.

Keluarga
Ja'far tidak naik ke kekuasaan dari antah berantah. Ia dilahirkan dalam keluarga Barmakid yang berkuasa, yang berakar dalam wilayah Afghanistan yang dulu dikenal dengan biara-biara Budhanya. Keluarga Barmakid pernah menjadi pemimpin dan administrator Nava Vihara, dua biara Budha besar di Balk, di utara Mazar-e Sharif. Namun kemudian berbagai anggota keluarga masuk Islam, setidaknya secara resmi, ketika tentara Arab menduduki wilayah itu mulai sekitar 651 Masehi.
Berpendidikan dan berpengaruh, para Barmakid menemukan diri mereka dekat dalam pusat kekuasaan di bawah kekhalifahan Abbasiyah; Ayah Ja'far menjabat sebagai wazir sebelum Jafar menggantikannya, dua saudara lelakinya Fadhl dan Musa memerintah Mesir dan Damaskus sebagai gubernur.
Beberapa anggota keluarga lainnya menjadi pelindung terkenal para ilmuwan dan cendekiawan. Karena keluarga masih mempertahankan hubungan dekatnya dengan komunitas Buddhis di Iran dan India (mungkin karena pertobatan mereka yang masih baru, beberapa anggota pengadilan Abbasiyah sesekali masih mempertanyakan ketulusan mereka masuk Islam), mereka sering mengundang para pendeta dari komunitas itu ke pengadilan Abbasiyah di Baghdad, menyebarkan pengetahuan dan inovasi di bidang kedokteran, astronomi, dan ilmu pengetahuan lainnya ke utara dan barat. Ja'far secara aktif melanjutkan tradisi keluarganya, namun hari ini ia terkenal karena perannya dalam memperkenalkan seni dan ilmu pembuatan kertas ke Baghdad.

Pengaruh
Sebelum tahun 751 M, pembuatan kertas menjadi rahasia negara yang dijaga ketat dalam Kekaisaran Cina. Pedagang Cina menjual sejumlah kecil kertas yang muncul menjadi arsip-arsip di seluruh Asia Tengah dan Timur Tengah, namun mereka menolak membagi rahasia pembuatannya.
Tetapi pada tahun 751, Kekhalifahan Abbasiyah dan Dinasti Tang Tiongkok berselisih atas kendali wilayah di Asia Tengah, di sepanjang koridor perdagangan utama yang dikenal sebagai Jalur Sutra. Konflik memuncak dalam Pertempuran Talas (menjadi Kazakhstan di jaman modern), dimana Abbasiyah dan sekutu mereka dari Kekaisaran Tibet menang - dan beberapa tawanan perang Cina akhirnya menceritakan rahasia pembuatan kertas. Ja'far segera meyakinkan Khalifah untuk membangun pabrik kertas di Baghdad, yang memberi khalifah sumber kertas yang siap digunakan.
Saat ini hal tersebut mungkin kedengaran seperti masalah kecil, tetapi pada jaman Abbasiyah, pembangunan pabrik kertas di Baghdad adalah dorongan besar bagi perkembangan komunikasi, informasi, dan keilmuan - sesuatu yang berefek sama seperti munculnya percetakan berabad-abad kemudian.

Cerita selanjutnya
Pengaruh wazir Ja'far begitu besar sehingga ia dan khalifahnya, Sultan Harun Al-Rasyid, muncul disebutkan namanya dalam beberapa kisah pada cerita 1001 Malam (the Arabian Nights). Tetapi tidak seperti versi modern yang dikenal hari ini, versi fiksi awal Ja'far adalah protagonis (tokoh utama cerita, biasanya orang baik), bukan penjahat. Dalam cerita "Tiga Buah Apel" (The Three Apples‎) atau "Cerita tentang Wanita Yang Terbunuh" (Ingr.: The Tale of the Murdered Woman‎; Arab: Hikayat as-Sabiyya al-Maqtula), ia memecahkan misteri pembunuhan (di bawah ancaman hukuman mati jika dia melewati tenggat waktu), pergi bertualang, dan memberikan pengetahuan dan saran yang berharga. Dia tidak menjadi tukang sihir dan penjahat sampai berabad-abad kemudian, ketika cerita-cerita itu berevolusi secara bertahap.
Dan dalam banyak cerita selanjutnya, Ja'far juga memiliki kebiasaan mencoba merayu atau menikahi sang putri - sebuah plot yang mungkin dikenali oleh audiens modern.
Kita tidak bisa memastikan apakah Ja'far asli sama ramahnya dalam versi film "live-action" baru Aladdin, tetapi setidaknya Putri Abbasa, saudara perempuan sang khalifah, tampaknya berpikir demikian; rumor mengatakan bahwa hubungan kasih dengan sang putri menyebabkan eksekusi Ja'far pada tahun 803 Masehi. Tapi kemungkinan ini hanya rumor; catatan sejarah sendiri tidak begitu jelas, Harun Al-Rasyid memerintahkan seluruh keluarga Barmakid dieksekusi pada 803 M, yang seharusnya merupakan respons ekstrem terhadap jalinan asmara seorang anggota keluarga, bahkan meski pun dengan seorang putri. Beberapa sejarawan mengatakan bahwa kemungkinan besar para Barmakid, dengan kekayaan mereka yang besar dan tentara pribadi yang besar, secara bertahap menjadi ancaman bagi kekuatan khalifah - yang akhirnya ia tangani dengan cara yang paling akhir yang tersedia.

Kontribusi
Tetapi kontribusi mereka terhadap penyebaran pengetahuan ilmiah, khususnya kontribusi Ja'far ibn Yahya, telah mulai bergerak. Gagasan dan metode yang dengan bantuan mereka masuk dari India dan tempat lain menjadikan Timur Tengah sebagai pusat keilmuan sepanjang Abad Pertengahan, dan akhirnya menyebar ke Eropa dan membantu memicu Renaissance. Prestasi yang cukup mengesankan bagi seorang pria yang bahkan tidak memiliki burung beo yang berbicara untuk membantunya.


Sumber:
- Smith, Kiona N.; "The Real Jafar Was A Science Advocate, Not A Disney Villain",
https://www.forbes.com/sites/kionasmith/2018/12/31/the-real-jafar-was-a-science-advocate-not-a-disney-villain/#125fd88ed53c, Retrieved January 09, 2019.
- "Ja'far ibn Yahya", https://en.wikipedia.org/wiki/Ja%27far_ibn_Yahya, Retrieved January 09, 2019.
- "Barmakids", https://en.wikipedia.org/wiki/Barmakids, Retrieved January 09, 2019
- Gautam Viswanathan; "Heroes of Arabia: Ja’far Ibn Yahya", https://timesofoman.com/article/111761, Retrieved January 09, 2019
- "Aladdin Press Kit" (PDF). wdsmediafile.com. Walt Disney Studios. Retrieved May 22, 2018.

Rabu, 03 Oktober 2018

Cover-Art (Bagian 1)

Bicara musik Progressive Rock kurang lengkap rasanya bila tidak membahas album cover yang menjadi salah satu ciri khas era ini. Seiring dengan muncul dan berkembangnya rock-n-roll, industri rekaman mulai mewabah dengan cepat. Kebutuhan untuk mengemas piringan hitam (selanjutnya kaset dan CD, DVD dan Blue Ray) yang laik jual semakin mendesak, yang dibarengi juga kebutuhan akan disain kemasan rekaman yang menarik, unik, dan indah. Artis-artis disain cover, poster, stage pertunjukan musik muncul menjamur. Maka lahirlah era disain cover modern.
Ada beberapa nama yang erat kaitannya dengan Progrock era, antara lain: Hipgnosis, Storm Thorgerson, dan Roger Dean.

Hipgnosis dan Storm Thorgerson
Hipgnosis adalah kelompok desain seni Inggris yang berbasis di London yang mengkhususkan diri dalam menciptakan cover-art (seni sampul) untuk album musisi dan band rock. Karya-karya mereka termasuk antara lain cover-art Pink Floyd, T. Rex, Pretty Things, Black Sabbath, UFO, 10cc, Bad Company, Led Zeppelin (album Houses of the Holy), AC/DC, Scorpions, Yes (album Going For the One), The Nice (album Elegy), Emerson, Lake & Palmer (album Trilogy), Def Leppard, Paul McCartney & Wings, Alan Parsons Project, Genesis (album "Lamb lies Down On Broadway"), Peter Gabriel, Electric Light Orchestra, The Police, Rainbow, Styx, Pezband, XTC, dan Al Stewart.
Hipgnosis didirikan oleh Storm Thorgerson (sering digelari sebagai "Picasso of Rock and Roll") dan Aubrey Powell dari Cambridge, dan kemudian Peter Christopherson. Kelompok ini bubar pada tahun 1983, sedangkan Thorgerson tetap mengerjakan desain album (dengan mendirikan Stormstudio. Inc) sampai kematiannya pada 18 April 2013. Powell bekerja dalam pembuatan film dan video, terutama dengan Paul McCartney, The Who, dan Monty Python Flying Circus, selain menjadi direktur kreatif untuk Pink Floyd dan anggotanya David Gilmour.
Pendekatan Hipgnosis terhadap desain album sangat berorientasi pada fotografi, dan mereka memelopori penggunaan banyak teknik visual dan kemasan yang inovatif. Secara khusus, foto-foto surealis Thorgerson & Powell yang dimanipulasi secara rumit (memanfaatkan trik darkroom, eksposur ganda, retouching airbrush, dan teknik cut-and-paste secara manual) menjadi pelopor dari yang nantinya akan disebut photoshopping. Hipgnosis terutama menggunakan kamera Hasselblad untuk pekerjaan mereka.
Ciri khas lainnya adalah bahwa banyak dari foto cover mereka menceritakan "kisah" yang terkait langsung dengan lirik album, sering didasarkan pada permainan kata-kata atau makna ganda kata-kata dalam judul album. Karena Powell dan Thorgerson adalah mahasiswa film, mereka sering menggunakan model sebagai "aktor" dan mementaskan foto dengan cara yang sangat teatrikal.
Banyak cover Hipgnosis yang menampilkan teks dan logo tinta disertai ilustrasi khas berteknologi tinggi (seringkali oleh desainer grafis George Hardie), stiker, bagian kemasan dalam album yang mewah, dan bonus lainnya. Salah satu tambahan unik yang diciptakan oleh Hipgnosis adalah bagian dalam yang dicetak secara khusus untuk album LP Led Zeppelin, "In Through the Out Door", yang bergaya "hitam dan putih", dan secara ajaib berubah berwarna ketika dibasahi dengan air (terikat dengan tema fotografi utama) .

Kamis, 30 Agustus 2018

Mufakat Firasat



Buku "Mufakat Firasat" karya Yusuf Maulana

Judul Buku : Mufakat Firasat, Penjelajahan Sejarah bagi Penghikmahan Gerakan Islam
Penulis : Yusuf Maulana
Penerbit : Muda Cendekia, Jawa Barat & Samben Library, Yogyakarta
Tahun Terbit : Maret 2017
Jumlah Halaman : xxxii+428

Mengagumkan meski agak njelimet saat pertama membacanya...:-) Itulah kesan pertama ketika selesai membaca beberapa bab buku “Mufakat Firasat” buah karya ustadz muda Yusuf Maulana. Namun setelah mencermati halaman-halaman selanjutnya... wow, luar biasa!
Mengagumkan karena luasnya materi bahasan yang disandangnya. Bayangkan, penjelajahan pikirnya merentang jauh dari jaman dinasti Abbasiyah hingga jaman Belanda berkuasa di Nusantara, dari Al-Ghazali, Ibn Khaldun sampai Copernicus pun diulas dengan lugas tanpa rasa rikuh.
Saya yang terbiasa membaca buku-buku ilmiah populer, berita-berita koran, majalah, jurnal-jurnal umum maupun penerbitan kampus dengan tulisan-tulisan lugas bertutur atau investigatif, berusaha mengerti dan mengikuti alur tulisannya. Dengan gaya bertutur yang mirip dengan tulisan Goenawan Muhamad (bekas Pemred Majalah TEMPO) dan penggunaan kata-kata atau istilah yang hanya dipahami oleh orang-orang yang sering membuka KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan sudah jarang digunakan oleh masyarakat umum sebagaimana yang dilakukan oleh Remy Sylado (Yapi Panda Abdiel Tambayong: penulis novel, bekas pemred Majalah musik Aktuil, dramawan, novelis dan musisi), buku ini akan memuaskan intelektualitas seseorang seiring bertambahnya pengetahuan akibat olah pikir dan olah hati si pembaca. Dan dalam taraf tertentu saya mungkin masih bisa mengerti mengapa sang penulis keukeuh mempertahankan gaya penulisan seperti itu: sepertinya sang penulis berusaha menghormati tradisi kepenulisan ilmiah para sarjana Islam di masa terdahulu yang cenderung sangat ilmiah namun juga puitis. (Ingat buku al-Adwiyat al-Qalbiyyah ("The Remedies of the Heart" atau Pengobatan Hati), sebuah buku Kedokteran karya Ibn Sina/ Avicena yang ditulis dengan gaya sajak!)
Pendalaman materinya mencengangkan mengingat dedahan penjelasnya mencakup paduan pengetahuan-pengetahuan tentang psikologi, etika, biografi tokoh/ kaum, agama, iptek, budaya, politik, ekonomi, pemerintahan untuk membahas adab dan tingkah seseorang atau kelompok pada suatu masa.
Pada akhirnya penjelajahan olah pengetahuan buku ini berujung pada sebuah kata membuat saya takjub setelah menyadarinya: “akhlak”, yang oleh Nabi Muhammad dalam sebuah hadist-nya dianggap sebagai pencapaian puncak seorang beriman (“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya”. HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Saya kira di sinilah hikmah dan makna inti buku ini. Sebagaimana ditulis sendiri oleh penulis ketika membahas tentang Ibn Sina beserta Kita al’Qanun fi al-Tibb:
“Sebab yang dicari seorang Muslim adalah hikmah, bukan idola. Dan hikmah yang dicari harus selaras dengan pedoman hidup kita : quran dan Hadist.” (hal. 181).
Jadi pembaca, saya merasa bahwa sang penulis buku tengah berusaha menawarkan solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah di dunia kontemporer ini dengan cara peningkatan adab diri:
“Tempat terindah salah satunya adalah bilik menimba ilmu. Tempat memberadabkan diri hingga menjadi umat Muhammad sejati. Tempat terindah bisa juga bersihnya hati. Bilik hati terbebas dari iri dengki dan kesumat pada orang lain, lebih-lebih sama-sama pengikrar syahadat. Apa yang ada orang lain tak ingin dikurangi sedikit pun agar semata berpindah ke diri ini.” (hal. xviii)
Sebagai penutup, tadi sekilas ketika membaca halaman-halamannya, ingatan saya melayang pada tulisan di buku yang lain; sejilid buku yang mungkin agak kurang dikenal masyarakat. Saya pikir, ada baiknya tulisan tersebut saya kutip di sini. Dari buku yang disusun oleh bp, S.U. Bajasut dan Lukman Hakiem, “Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan PRAWOTO MANGKUSASMITO, Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi”, edisi kedua, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2014, hal. 127:


Buku S.U. Bajasut dan Lukman Hakiem, “Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan PRAWOTO MANGKUSASMITO, Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi”

Jangan Tinggalkan Tuntunan Agama
“Adapun cara-cara yang dipergunakan, dengan tidak hendak memberikan contoh satu per satu, kerap kali menimbulkan pertanyaan kepada orang-orang yang tidak mudah silau karena kemilaunya kemenangan-kemenangan yang bersifat sementara: Zjin wij wel op de geode weg? (Apakah betul kita sudah berada di jalan yang baik?)
Dipandang dari sudut partai politik yang mendasarkan perjuangannya atas kaidah-kaidah agama, perlu kita renungkan kembali apakah benar di dalam mengejar kemenangan-kemenangan yang bersifat sementara itu dapat dipertanggungjawabkan jika ditinggalkan ketentuan-ketentuan yang terang nash-nya di dalam agama? Saya yakin tidak. Jika demikian, kerusakanlah yang akan menjadi bagian kita dan tidak ada guna, malah menyesatkan perkataan agama yang kita tempelkan pada papan nama kita. Gerangan demikian yang diperingatkan oleh pujangga politikus Syekh Muhammad Abduh dengan perkataannya yang bersayap, “La’natullahi ‘ala as-siyasah (Laknat Allah atas politik).”
Marilah kita membuktikan bahwa kita dapat berpolitik dalam arti untuk menegakkan hak dan kebenaran (15 tahun kemudian perkataan “hak dan kebenaran” digunakan kembali oleh Angkatan 1966-SUB) li I’lai kalimatillah (untuk menegakkan keagungan ajaran Allah-Ed.) dalam tiap-tiap tindakan yang dilakukan.”

Rabu, 23 November 2016

Giliyang Island, Sumenep, East Java Province, Indonesia



If you have time, please go to the Giliyang Island, district Dungkek, Sumenep, East Java Province, Indonesia. Perhaps many who do not know the existence of this island, let alone merits. At first glance, the Giliyang Island is the same as the other islands around the island of Madura (total there are about 125 islands in Sumenep). But who would have thought that Giliyang Island has been acclaimed as "Island with the best of oxygen levels in the world after second Jordan".

It was based on research team results Utilization Center for Atmospheric and Climate Science LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional = National Institute of Aeronautics and Space) end of July 2006, which was then carried out the review on December 27, 2011 and by BLH (Badan Lingkungan Hidup = Environment Agency) Sumenep and East Java, as well as the Planning Agency.

From the research, Giliyang Island has an oxygen concentration of 20.9% to the level of explosive limit (LEL) of 0.5%. The value of the content is different from another region that has a value of oxygen concentration of 20.9% and 0.0% LEL. When reviewed, the results are the same: oxygen in the island between 3.3 and 4.8 percent or above normal.

Quality good oxygen makes long-lived population of this island. The majority of Giliyang Island residents over the age of 80 years and looks youthful and fit as a fiddle. They even still able to perform activities like the people in the productive age.

In addition to containing a high oxygen, the island is also far from pollution because of the scarcity of vehicles that pass in Giliyang. The content of carbon dioxide in the island is only about 265, while the noise level is only 36.5 db. So, in addition to the air refreshing atmosphere also reassuring.
No wonder if the residents in Giliyang long-lived. Grandparents aged 80 just still looks fit and healthy, even up to 175 years old.

The high oxygen content in Giliyang not only from many trees are still green, but also from circulating air occurs at the beach. The beach here is overgrown trees so as to create an atmosphere on the beach is quite cool and protected from the sun. Besides having white sand beaches, here too there is a rock that adorn its shores.

So if you want a vacation, it helps make the Giliyang Island as your destination. Besides fun, the island can give you a healthy vacation moment.

Sabtu, 08 Agustus 2009

Penggunaan 7-Zip ternyata mudah

Sampai dengan kemarin sore, saya masih bingung menjawab pertanyaan: Bagaimana sih caranya agar kita dapat membaca beberapa file pdf yang di zip atau mendengarkan beberapa file mp3 yang di compress dalam bentuk file rar? Ternyata jawabannya -secara tidak langsung- diberikan oleh Bung Aldian Prakoso dari MantraUANG.net. Waktu saya mendownload rangkaian Live Audio Bung Aldian di Radio RPK Jakarta, saya mendapatkan link program 7-zip untuk memproses rangkaian audio di atas agar bisa didengarkan dengan baik menggunakan program-program mp3 player.

Sejauh ini yang telah saya coba caranya adalah sbb.:
1. Download file program 7-zip di sini.
2. Download seluruh bagian file yang ingin diproses (biasanya ditandai dengan ext. part1 dst.), secara berurutan. Jangan sekali-kali membuka salah satu bagian yang didownload sebelum seluruh bagian file selesai didownload, bila tidak ingin file tersebut corrupt.
3. Install program 7-zip (bisa di komputer atau di flashdisk)
4. Jalankan program 7-zip
5. Klik tanda + (Add) pada toolbar.
6. blok semua bagian file yang ingin anda proses, dan enter.
7. Selesai mengumpulkan bagian-bagian file itu, tekan tanda - (extract) pada file yang dihasilkan dari proses penyatuan pada langkah 6 untuk membukanya kembali.
8. Dari proses extract pada langkah 7, akan dihasilkan file-file yang tadi di add pada langkah 5 dan 6.
9. Setelah itu, coba anda tekan - untuk meng-extract file no. 1 (bisa berextension 001 atau part 1) dari langkah 8.
10. Langkah 9 di atas akan menghasilkan sebuah folder dengan nama namafilehasilproses.zip yang berisi sebuah file hasil proses pengumpulan di atas tadi.
11. Coba didobel-klik file tersebut, dan...oke... file siap digunakan!