Jumat, 29 Oktober 2021

Catatan Terakhir: Aku Pulang (Sajak-sajak Yudi Yudianto)

Catatan Terakhir: Aku Pulang

(Episode Kasidah Cinta I)


mendendangkan lagu pulang, pada senja

yang aku tak mau menghitung lukanya

kabut terlalu cepat turun

menyusuri malam, merenggut purnama

memaksakan bingkai cerita lain, padahal

masih ingin lebih lama

menulisi prasasti dan kasidah cinta, lalu

menghunjamkan dalam pada harum tanah

    di sini. Tapi

kepak lambai tangan mengusung keranda

    pulang

terlalu kuat merenggut lembayung. Haruskah

tetes hujan tak berhenti mengalir

membasahi kepak lambai pulangku, agar

    lembayung

tak lepas dari senja, haruskah

kupeluk dan tak kulepas lagi

sajadah panjang yang masih

    mendendangkan

suara anak-anakku mengaji

hingga esok aku masih memeluk fajar di sini

Namun gerhana terlalu cepat memasung

    purnama

kerongkongan terlalu tajam menyekat do'a-

    do'aku

membiarkan kesempurnaan gelap malam 

menghampiri pelan-pelan

menjiarahi desir angin pada jemari hujan

mencatat setiap butir air mata di keheningan 

    tahajud

dan merengkuh sajadah wadah anak-anakku

    mengaji,

tapi aku tetap harus melangkah

        membawa bayang-bayang kita masing-

    masing

mengayuh biduk pada telaga kita masing-

    masing

dipayungi rembulan kita masing-masing


Bandung, Januari 1995

Dimuat di majalah Ummi, no 10-VII tahun 1995, rubrik Taman Puisi, hal. 65



Sabtu, 23 Oktober 2021

Catatan di Suatu Malam Syawal 1415H

Sore ini aku buka puasa di Pasar Pandegiling. Tidak ada yang luar biasa sebenarnya, kecuali kepatuhan pada aturan-aturan agama yang harus digenapi. Tapi bila dikatakan sederhanapun tidak juga., sebab seperti tahun-tahun yang lalu, ada saja pengalaman unik yang gemanya masih membekas di hati. Seperti tahun-tahun yang lalu, nyatanya pengalaman-pengalaman itu memberikan pemikiran baru, yang membuat pikiranku jadi penuh dengan ide-ide (seandainya saja hal itu bisa dikatakan sebagai ide) yang ingin segera kukeluarkan dalam bentuk tulisan.

Dengan tenang kusantap nasi pecel yang kupesan. Sesekali kunikmati juga rasa hangat dan manis dari segelas teh yang ada di depanku. Memang benar kata para kyai yang sering mengisi rubrik-rubrik agama di koran-koran, bahwa kenikmatan orang yang berbuka puasa adalah di saat pertama kali air membasahi tenggorokan kita. Suatu rasa yang bisa membuat kita seperti ketagihan, selalu ingin minum dan minum lagi.


Saat enak-enaknya menikmati nasi pecel itu, kurasakan kehadiran seseorang di sebelah kiriku. Waktu kupandang ke arah tersebut, kutemukan seraut wajah anak laki-laki berumur sekitar 6 tahun, berpakaian lumayan bersih, yang menyembunyikan wajahnya dengan malu-malu. Anak laki-laki itu membawa sebuah mangkuk plastikwarna biru yang terkadang digosok-gosok bagian dalamnya sambil berkata perlahan, "Om, mohon belas kasihannya." 

Sepertinya ia tidak berkata padaku, tapi dari sikapnya aku tahu bahwa akulah yang diajak bicara.

Kupandangi wajah itu dengan lugu, dan hampir bersamaan dengan itu aku teringat pada beberapa baris sajak karangan Sa'di Syirazi dalam Bustan:


Bila anak yatim menangis, siapa menghalau dukacitanya?

Bila perasaannya tak terkendali, siapa perduli pada berangnya?

O! Jagalah, jangan dia menangis, sebab pastilah singgasana Tuhan

akan terguncang, karena rintih anak yatim yang pilu!

Dengan belas kasihan tiada batas, 

dengan kasih sayang yang lembut,

sekalah air matanya, kibaskan debu dari rambutnya.


Aku belum bisa mengerjakan seperti yang dianjurkan oleh Sa'di dalam baris-baris sajaknya di atas.

Terus terang aku malu mengakui hal ini. Yang bisa kurasakan saat itu adalah keinginan untuk mengelus kepalanya seraya mengeluarkan kata-kata yang dapat menghiburnya. Tapi itupun akhirnya tidak kulakukan. Yang terjadi adalah, aku mengambil uang, dan tanpa berkata apa-apa kutaruh uang itu di dalam mangkuknya. Aku tidak mampu memandang wajahnya lagi. Anak itu dengan cepat mengambil uang tersebut, kemudian berlalu setelah mengucapkan 'terima kasih' dengan perlahan.

Setelah anak itu berlalu, pikiranku melayang pada cerita-cerita tentang para Khulafaur Rasyidin serta Abu Zarr al-Giffari. Mereka begitu memperhatikan nasib para dhuafa. Mereka mau menyamakan keadaan dirinya yang sederhana dengan keadaan rakyatnya yang lemah, sehingga orang miskinpun tidak tersengat oleh kepedihan kemiskinannya.

Aku juga teringat pada seorang pengusaha toko buku di kawasan Tugu Pahlawan Surabaya yang secara rutin mengumpulkan orang-orang miskin pada hari Senin dan Kamis, lalu tanpa banyak gembar-gembor ia memberi nasi bungkus dan uang sekedarnya pada orang-orang miskin itu.

Begitu indah perhatian dan belas kasih yang mereka tunjukkan pada orang miskin, seindah saat-saat puasa di bulan Ramadhan yang baru berlalu. Mungkin inilah makna puasa Ramadhan: berpuasa menahan lapar dan haus, merasakan akibat pengekangan nafsu-nafsu kita, yang pada akhirnya melahirkan kepedulian pada orang miskin dalam bentuk amal dan zakat fitrah. Suatu perasaan yang indah, fitri, bening, tintrim dan segar yang mungkin hanya bisa kita rasakan pada bulan Ramadhan saja.

Yah, itulah sayangnya: welas-asih dan kepedulian itu hanya bisa kita rasakan pada bulan Ramadhan saja, tidak pada bulan-bulan lainnya. Mengapa? Karena dalam pikiran kita seolah-olah telah terpatri bahwa bulan Ramadhan adalah bulan terbaik untuk berbuat baik. 

Kita sering lupa bahwa bulan selanjutnya (bulan Syawal) merupakan bulan peningkatan dari puasa yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan. Kalau kesimpulanku tentang makna puasa di atas benar, maka kefitrian dan kesegaran bulan Ramadhan tentunya bisa kita rasakan juga di bulan-bulan lainnya dengan cara menjadi salah seorang penyantun kaum dhuafa seperti orang-orang yang telah kusebutkan tadi. Seandainya lebih dari tiga perempat dari seluruh kaum muslimin menjadi welas-asih kepada kaum dhuafa, ya Allah, alangkah indahnya hari-hari dunia.

Dengan harapan seperti itu, kulanjutkan makan nasi pecelku yang masih tersisa. Sambil makan kupandangi toko-toko pakaian di belakang warung-warung di sepanjang jalan Pandegiling. Seandainya pemilik-pemilik toko itu mau berbuat seperti pengusaha toko buku di kawasan Tugu Pahlawan....

Tiba-tiba seorang anak perempuan kecil masuk ke warung yang bersebelahan dengan warung tempat aku makan. Setelah melihat ke kanan dan kiri, memperhatikan bahwa pemilik warung tidak melihat perbuatannya, lalu dengan cepat dia mengambil sekerat daging sisa di piring-bekas-makan seorang pembeli yang baru pergi, dan langsung dimasukkan ke mulutnya yang mungil.... dimakan!

Begitu cepat kejadian itu berlangsung, sehingga aku hanya bisa ternganga saja.

Apalagi setelah aku sadar bahwa anak itu telah berada di belakangku, menepuk punggungku, kemudian dengan berani dia menatap mataku seraya menadahkan tangan!

Wahai.... Dalam hitungan beberapa menit aku telah dilibatkan pada dua kejadian ganjil. Yang pertama, pertemuan dengan seorang anak laki-laki yang polos, lugu, pemalu dan menimbulkan belas kasihan. Lalu yang kedua, dengan seorang anak perempuan kecil, lebih muda (berumur 3 sampai 4 tahun), berpakaian agak lusuh, berani dan agresif.

 Sikapku terhadap anak perempuan ini pun berubah, berlawanan dari sikapku pada anak laki-laki tadi. Sikapku jadi kaku, waspada, bahkan cenderung sinis. Apakah mengemis sudah menjadi profesi yang menguntungkan sehingga mampu mengubah anak sekecil ini menjadi anak yang agresif, ataukah karena tekanan keadaan saja?

Kalau mengemis memang telah menjadi profesi, aku tidak bisa lagi membayangkan bagaimana sebenarnya etika sosial masyarakat kita. Mungkin yang terjadi mirip dengan keadaan yang digambarkan pada buku Quo Vadis karangan Henryk Sienkiewicz yang bercerita tentang zaman kekaisaran Romawi di bawah pemerintahan Nero, dimana para pengemisnya setiap hari bergerombol di Forum, bermalas-malasan sambil menunggu pembagian roti secara gratis dari Kaisar. Mereka memuji-muji Kaisar dan makin memuji agar jatah roti dan gandum mereka bertambah banyak.

Itulah etika moral yang berlaku saat itu, siapa yang mampu memberi makanan yang paling banyak, dialah yang menjadi penguasa. Siapa yang yang mampu memuaskan kebutuhan perut mereka, dialah yang disembah. Jadi kekuasaan di sini ditentukan oleh pemuasan syahwat dan kebutuhan jasmani saja.

Hal ini jauh berbeda dengan saat Umar bin Khattab menjadi pemimpin umat Islam. Sering kita mendengar cerita adanya seseorang yang berlama-lama zikir di masjid. Oleh Umar ia dibentak: "Kau tidak akan mendapatkan rezeki dengan hanya berzikir. Bekerjalah."

Dalam hal anak perempuan tadi, yang kulakukan padanya hanya menggelengkan kepala, menolak permintaannya sambil berkata: "Aku tidak akan memberimu uang, kecuali kamu...." Tapi anak itu malah terus berlari pergi, tidak mengacukan omonganku lagi.

Saat aku pulang, di tengah perjalanan kurenungkan kembali kejadian-kejadian tadi. aku merasa sedikit banyak bisa mengambil hikmah darinya. Aku dapat mempertajam rasa pekaku terhadap kaum dhuafa, aku dapat mempertajam otakku untuk memikirkan hal-hal yang punya manfaat bagi sesama.

Sebab pembaca, biar pun pada karangan di atas banyak kusinggung tokoh-tokoh Islam, tapi pada dasarnya yang kupakai untuk menilai kejadian-kejadian itu adalah hati nuraniku sendiri. Aku merasa belum pantas menilai kejadian-kejadian itu berdasarkan nilai-nilai agama yang kuanut, meskipun nilai-nilai agama itu sedikit banyak juga ikut mewarnai penilaianku. Banyak orang-orang yang lebih cocok untuk melakukannya. Itulah mengapa aku hanya menilainya berdasarkan nilai-nilai yang dapat dipahamioleh orang banyak, oleh masyarakat luas.

Jadi menurutku, pada akhirnya kemiskinan itu bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi kemiskinan menimbulkan keprihatinan yang menyedot perhatian kita kita agar mau mengulurkan tangan membantu mengurangi penderitaan kaum dhuafa, di sisi lain ia merupakan sisi negatif bila kita manjakan tanpa ada upaya untuk mengubah, minimal memperbaikinya menjadi kehidupan yang lebih baik.


Dimuat di majalah Ummi, no 10-VII tahun 1995, rubrik Ragam, hal. 38-40